Skripsi
Analisis yuridis tentang putusan hakim nomor 2781/Pdt.G/2012/Pa.Tbn tentang penolakan permohonan nafkah anak oleh istri yang dicerai talak
Skripsi ini adalah hasil penelitian studi kasus dengan judul, “Analisis Yuridis Tentang Putusan Hakim Nomor 2781/Pdt.G/2012/Pa.Tbn Tentang Penolakan Permohonan Nafkah Anak Oleh Istri Yang Dicerai Talak”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan : Apa dasar pertimbangan hakim menolak permohonan nafkah anak oleh istri yang dicerai talak dan bagaimana analisis yuridis terhadap putusan hakim nomor 2781/Pdt.G/2012/PA.Tbn di Pengadilan Agama Tuban yang menolak permohonan nafkah anak?rnData dihimpun melalui tehnik dokumentasi dan wawancara dengan Ketua Majelis Hakim dalam persidangan kasus cerai talak di Pengadilan Agama Tuban. Kemudian dianalisis dengan metode pendekatan kasus (Case Aprroach) yang berpola pikir deduktif.rnHasil penelitian menyimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan majelis hakim untuk memutuskan bahwa permohonan nafkah anak yang diajukan oleh istri tersebut ditolak, yaitu dengan berlandaskan pasal 41 huruf (b) UU No. 1 Tahun 1974. Pasal ini menyebutkan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan anak jika bapak tidak dapat menjalankan kewajiban memberikan nafkah pemeliharaan anak tersebut. Sedangkan jika dilihat dari beberapa peraturan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI yang telah dikumpulkan oleh peneliti, putusan hakim tersebut sesuai dengan pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Dan dilanjutkan oleh ayat (2), bahwa kewajiban di atas akan terus berlaku walaupun hubungan perkawinan antara bapak dan ibu telah putus. Dalam pasal 105 huruf (c) KHI menyatakan pula bahwa biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya, dan juga dalam pasal 145 huruf (d) KHI yang bekas suami jika perkawinannya putus karena talak, yaitu kewajiban untuk memberikan biaya h{ad{anah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Maka demikian, walaupun permohonan nafkah anak oleh istri ditolak oleh Majelis Hakim kewajiban sebagai bapak dari anaknya akan terus melekat. Karena Majelis Hakim hanya menolak nominal dari permohonan yang sudah diajukan, tidak membebaskan dari kewajiban suami sebagai bapak anak tersebut.rnPenulis berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penelitian berikutnya, kemudian sebagai masukan untuk Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara yang berkenaan dengan nafkah anak. Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka disarankan kepada para hakim untuk lebih teliti dalam memberikan putusan. Dalam kasus ini kiranya dapat dirujukkan juga pada pasal 98 KHI yang mengatur tentang pemeliharaan anak. Pada pasal 98 ayat (3) KHI ini menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban pemeliharaan anak apabila kedua orang tuanya tidak mampurn
S-2014/AS/011 | Perpustakaan A. Yani | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - No Loan |
Tidak tersedia versi lain